"welcome to cerpenku... "

Rabu, 27 April 2011

Izinkan ku Pergi By : Bunda Hannan

Takdir!
Dalam hati kadang masih ku tanyakan apa artinya takdir? Katanya takdir adalah garis yang memang sudah ditentukan Tuhan untuk kita. Tapi apakah kepergianku sekarang ini adalah juga bagian dari Takdir-Nya?

Memang hidup tak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dulu, pernah ku bayangkan kelak aku akan hidup bahagia dengan segala kerja kerasku, karena seperti pepatah bilang berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Artinya setiap kerja keras tak akan sia-sia!

Lulus SMA ku gadaikan ijazahku untuk dapat bekerja di sebuah Pabrik di Jakarta. Berharap bisa mengumpulkan uang, paling tidak untuk diri sendiri, belajar mandiri, syukur-syukur bisa membantu penghasilan Abah di kampung.

Bertahun-tahun, hidup susah sebagai buruh, terus ku patri bahwa suatu saat akan ada hasil yang akan ku petik. Berusaha tidak pulang kampung ketika lebaran dengan mengirim uang jatah THR, yang sebenarnya bisa kugunakan untuk ongkos mudik, sebagai penawar hati untuk bisa memberikan hasil jerih payahku ke Abah dan Mak.

“Maaf Bah, Jiah gak bisa pulang, maaf lahir batin aja ya Bah, buat Mak juga!” begitu 5 tahun terakhir ku lalui lebaran hanya melalui telpon dengan menelfon Abah di kampung.

“Apa kamu gak kepengen liat Mak? Adikmu si Badrun juga dah mau lulus SMA, barangkali kalau kamu pulang dia ngiler kerja kayak kamu di Jakarta.”

“Ya Bah, nanti kalau pekerjaan luang Bah, sekarang pekerjaan gak ada hentinya, sayang kalau lemburan gak diambil. Bukannya Abah sama Mak pengen punya anak kaya?” sambungku lagi sambil menghela nafas. “ Ya sudah Bah, kalau kiriman Jiah dah sampai dikabari aja, mudah-mudahan bisa manfaat”.

***
Ini lebaran yang ke-6 yang berarti tahun ke-6 aku bekerja di Jakarta dan tahun ke-6 pula aku tak pernah bersua Abah, Mak dan Badrun serta kerabat lainnya di kampung.

“Bah, kiriman THR Jiah sudah sampai kan?” tanyaku, karena ku fikir biasanya tidak lebih dari seminggu wesel sampai ke rumah. “ Ya, Badrun akan ke kantor pos besok buat ambil uangnya!”
“Apa kamu sehat? Abah kira tahun ini kamu akan pulang, paling tidak sambil memperkenalkan calon mantu buat Abah!” sambung Abah sambil sedikit menyindir.
“Iya Bah, doakan saja!” aku hanya menjawab sekenanya karena grogi, tak menyangka kalau Abah menagih calon mantu.

Selesai melepas kangen, maaf-maafan dan titip salam buat Mak, ku sudahi telpon dan terus terngiang di telinga tentang calon mantu buat Abah.

***

“Walah..Jiah, artinya saatnya tiba kamu hunting pangeran!” Canda Mey
“Ah Mey siapa yang mau sama cewek jelek dan kere kayak aku gini”
“Kamu bukan jelek Ji Cuma gak Pede..ada lho di pabrik yang suka tanya-tanya, biasanya cowok yang suka nanya-nanya cewek naksir tuh”
“Ah, males ah kalau punya suami karyawan pabrik juga, seumur hidup bisa kere”
Mey tertawa dan kamipun berpisah di pintu masuk pabrik karena memang kami beda ruang.

***
“Gila kamu Ji, secepat ini? Kamu dah yakin? Baru sebulan kenal udah mau merit?” Mey setengah histeris mendengar rencanaku.
“Aku mau mengubah nasib Mey, lagian Abah juga udah ngasih lampu hijau buat aku menikah, mungkin ini yang namanya takdir Mey, tiba-tiba datang Mas Aryo dan aku nyaman bersamanya”
“Tapi nikah itu buat seumur hidup Jiah”
”Iya, aku tau, perasaanku mengatakan Mas Aryo kiriman Tuhan di tengah kebuntuanku Mey. Buntu sebagai buruh yang hanya cape’ di badan sedang gaji hanya jadi tai’, buntu mencari tambatan hati untuk bisa membawaku pergi dari kelelahan sebagai pekerja, buntu mencari ‘teman sejati’ di ambang ketidak pedeanku”

Ya, pertemuanku dengan Mas Aryo memang seperti begitu saja terjadi. Saat itu aku sedang belanja keperluan bulanan di sebuah supermarket, tak sengaja dompetku terjatuh dan Mas Aryo yang menemukannya. Kita berkenalan setelah fihak informasi supermarket mengumumkan berita barang kehilangan. Saling bertukar nomer handphone dan chit chat sekedarnya dan kamipun berpisah.

Beberapa hari setelah itu, Mas Aryo telpon, lalu kami janjian makan, beberapa kali bertemu, rasanya ada perasaan nyaman dengan nya. Satu hal yang tidak pernah ku sangka Mas Aryo mengajukan diri untuk menjadi pendampingku, dan jika ku siap ia akan segera melamarku dan bertemu Abah. Bak hujan di tengah hari, aku disergap sejuta perasaan haru. Lalu kuputuskan minggu depan mengantar Mas Aryo pulang ke Malang buat bertemu Abah.

***
Aku baru saja melahirkan dan sementara tinggal di kampung bersama Abah dan Mak. Rutinitas sebagai buruh pabrik adalah masa laluku. Abah dan Mak merasa ramai dengan keberadaan kami, Aku dan Putra Adam, anakku. Tapi sebentar lagi Abah dan Mak hanya akan ditemani Adam.

Setelah menikah dengan Mas Aryo yang seorang calon Taruna, aku tetap bekerja, sedang Mas Aryo masih harus berjuang untuk bisa diangkat sebagai Taruna. Nyatanya memang takdir baik tidak berpihak kepadanya. Bukan Taruna dan gaji yang baik yang didapat, Mas Aryo malah harus keluar dan kini menganggur.

Sayangnya, Mas Aryo tidak pernah siap untuk kegagalan itu. Aku bersikukuh untuk tetap bertahan di Jakarta, mengontrak di kost-an ku dan masih sebagai buruh pabrik. Sedang Mas Aryo ternyata lebih memilih untuk tinggal di rumah orang tuanya meski tetap di Jakarta. Sesekali Mas Aryo menandangiku hanya untuk memenuhi kebutuhan batinnya. Selebihnya, aku tetap berjuang seperti dulu, memutar gaji untuk bertahan hidup masih sebagai sebagai buruh namun dengan status istri. Aku hampir tak percaya, Mas Aryo tidak pernah mau menemaniku dan tinggal bersamaku layaknya suami istri. Statusnya yang pengangguran membuatnya berbeda dengan Aryo yang dulu pernah ku kenal. Tempramen dan sangat sensitive. Padahal aku mencoba menguatkannya bahwa kami bisa berjuang bersama, kalau ia mau, ia bisa melamar jadi karyawan pabrik. Tapi Mas Aryo tetap menginginkan menjadi seorang Taruna dengan status PNS yang sudah tak mungkin lagi ia raih. Memang tidak seminggu sekali Mas Aryo menandangiku untuk berhubungan suami istri, kadang sebulan, pernah tengah bulan ia datang lalu pergi lagi.

“Kenapa sih Mas tidak mau bersama di sini, maaf kalau aku sibuk di PT, tapi setidaknya kita bisa bersama berjuang di sini. Mas bisa cari kerja yang lain”
“Tidak Jiah, aku bukan tipe pekerja”

Ketika tahu aku hamil, Mas Aryo seperti biasa saja. Sedang aku yang menjadi sangat limbung. Aku tidak bisa terus bekerja dan mengirim uang ke Abah dan Mak kelak kalau aku ketahuan hamil. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak PT yang tidak mau rugi dan akan segera mengambil tindakan ketika mengetahui karyawatinya hamil. Mereka tidak mau ambil resiko memberikan cuti hamil dan memberikan pesangon. Jadi, sesegera mungkin pihak HRD akan meminta kami mengundurkan diri tanpa pesangon dan jaminan apapun. Habis manis sepah dibuang, begitulah kiranya.

“Ya itu anakku, lalu aku harus bagaimana? Semua orang tahu aku suamimu dan tak akan menuduhmu macam-macam Jiah”
“Ya, tapi aturan PT, aku harus berhenti, lalu bagaimana aku harus bertahan? Kalau Mas sudah bekerja aku masih merasa ringan”
“Kalau kamu paksa aku bekerja, aku tidak akan bekerja Jiah, aku calon Taruna, aku akan tetap jadi Taruna”
“Tapi nyatanya Mas tidak pernah jadi Taruna, bahkan kini menganggur tanpa ada kepastian”
“Lalu??”
“Berbuatlah sesuatu atau…”
“Ku pulang kan saja kamu ke Abah dan Mak di Malang!”

Deg, segampang itu Mas Aryo berucap dan aku hanya bisa diam. Tak sanggup menangis lagi.

***
“Izinkah Jiah pergi Bah, Mak!”

Abah dan Mak hanya bisa menangis, Abah memelukku dan Mak hanya diam duduk sambil menggendong Adam.

“Arab Saudi itu jauh Jiah, Mak tidak pernah membayangkan kamu akan berada sejauh itu, bagaimana kalau ada apa-apa dengan mu?”
“Restu Abah dan Mak Insya Allah menjadi pelindungku, Adam harus punya masa depan Mak! Jiah tidak bisa bekerja yang lain, kembali ke PT di Jakarta tidak mungkin karena mereka tidak mau menerima Jiah lagi, cari kerja yang lain susah, kini ada peluang, biarlah Jiah ambil, meski jauh mudah-mudahan ini jalan rizki buat Adam”

“Ah….Mana Aryo mu itu, tega benar dia berbuat seperti ini, menelantarkan anak dan cucuku!” teriak Abah geram

“Sudah lah Bah, tidak bisa Jiah mengandalkan Mas Aryo, dia tidak akan pernah bergeming, mungkin ini sudah takdir Jiah, biarlah Jiah jalani dengan ikhlas. Dengan doa Abah, Jiah akan ringan melangkah”.

“Biarlah Adam jadi pengobat rindu!” Ujarku menguatkan Abah dan Mak.

Hari itu, kembali ku tinggalkan Malang, menuju Bandara Soekarno Hatta dan bersama calon tenaga kerja wanita (TKW) lainnya aku akan terbang ke Arab Saudi. Mengadu nasib, mengais rizki dan menjalani takdir hidup. Banyak kabar ngeri yang sampai ke telingaku tentang kejamnya bekerja di Arab Saudi sebagai TKW, namun itu tidak menyurutkanku untuk tetap pergi.

“Izinkan Jiah pergi Bah, Mak!. Titip Adam! Doakan Jiah bisa kembali!”

24 April 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar